– @adzhanihani
Ku namai ia mimpi; yang ku bangunkan paling pagi,
yang ku beri juang dan hati. Kepada kamu, untuk kamu, tuk jadikan kita yang
nanti dan nanti.
Ada
kalanya hujan basahi tanah bumi. Menciptakan wewangian petrichor yang mampu
bawa angan berkelana jauh sampai tak lagi menyapa batas yang dikenal akal.
Kemana kita kan pergi? Kemana lagi kita bawa mimpi tuk menari?
Sayang, aku mengenalmu ketika rintik kesekian jatuh dari langit yang teramat tinggi. Dari awal yang tak pertama, dari kecil di antara yang besar, dari gerimis yang menderas. Dalam proses.
Sayang, aku mengenalmu ketika rintik kesekian jatuh dari langit yang teramat tinggi. Dari awal yang tak pertama, dari kecil di antara yang besar, dari gerimis yang menderas. Dalam proses.
Dudukku
diam, memandang kamu dengan mimpi yang menari bersama hujan dari balik jendela
tanpa kaca. Gerimis tak mampu menyadarkan segala lamun, dirimu itu dominasi,
dengan ‘mereka’ yang turut mengikuti — menari.
Sayang,
terkadang mimpi serupa bayang pada genang di jalanan — yang hanya diam menatap
kembali, mengabaikan nyata yang berteriak bahagia. Aku harap waktu mampu
membuat kaki mimpi kita menapak berlari di atas genang sebagai suatu wujud
bersama nyata,
nanti.
Sayang,
percayalah, bahwa dengan hati, tak ingin ku tempatkan rintik mimpi pada hampar
genang jalanan. Karna inginku ia menjadi pun terpantau; tak hilang.
Semoga nantinya mimpi tak pulang kebasahan. Semoga nantinya jelma utopia adalah hal terjauh yang tak mampu kejar anak mimpi kita.
Semoga nantinya mimpi tak pulang kebasahan. Semoga nantinya jelma utopia adalah hal terjauh yang tak mampu kejar anak mimpi kita.
Dari
aku yang mencintaimu,
Adzhani,
Adzhani,
Untuk
Deddy Ramadhani, dalam @DuetPuisi.
– @DR_dhani
Aku menyebutnya dengan nyata, yang memberi
kecup dan selamat kepada pagi, yang kuberi asa dan rasa. Kepada kamu , untuk
kamu, yang jadikan kita ada—untuk hari ini, dan seterusnya.
Semut
semut berbondong membawa reremah. Memangku berat kudapan pada punggung yang
diantarkan kehadapan dalamnya sarang yang tak mengenal kata gelap. Kita akan
menetap, jadikan mimpi bukan lagi dirinya, mendewasakannya, mewujudkan nyata.
Ketahuilah,
aku dan kamu menuju suatu yang tak hingga dan tak miliki definisi. Kita serupa
bilangan yang kau bagi dengan nol, serupa pi yang tak pernah habis dibagi.
Tanpa akhir.
Berlarian,
dengan waktu aku berpacu meniti hujan itu. Merajut tiap tiap indah rintiknya,
jadikan syal yang kulingkarkan pada lamun dan tinggi temperaturmu—sejuk.
Nyata
sudah dekat, sayang. Bata-bata mimpi yang kita rekat dengan timbun usaha
telah tampakkan bentuknya serupa bilik. Ia mampu lindungi kita dari angin
malam, pertemukan kita pada lelap indah yang tak berkesudahan, kini.
Telah
kulihat caramu merawat mimpi yang jadikannya dewasa diri. Dengan sedikit
asa usaha yang kumiliki, izinkan aku membawanya pada transformasi yang lebih
tinggi.
Jauh
tinggi anak mimpi berkelana sudah, saatnya kembali pada yang didefinisikannya
sebagai rumah—Ia nyata.
Dari
aku yang kau nanti, Deddy
Ramadhani,
dalam
ber-#DuetPuisi dengan Adzhani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar