Jumat, 19 Juli 2013

#DuetPuisi @adzhanihani dan @DR_dhani

– @adzhanihani

Ku namai ia mimpi; yang ku bangunkan paling pagi, yang ku beri juang dan hati. Kepada kamu, untuk kamu, tuk jadikan kita yang nanti dan nanti.
Ada kalanya hujan basahi tanah bumi. Menciptakan wewangian petrichor yang mampu bawa angan berkelana jauh sampai tak lagi menyapa batas yang dikenal akal. Kemana kita kan pergi? Kemana lagi kita bawa mimpi tuk menari?
        
Sayang, aku mengenalmu ketika rintik kesekian jatuh dari langit yang teramat tinggi. Dari awal yang tak pertama, dari kecil di antara yang besar, dari gerimis yang menderas. Dalam proses.
Dudukku diam, memandang kamu dengan mimpi yang menari bersama hujan dari balik jendela tanpa kaca. Gerimis tak mampu menyadarkan segala lamun, dirimu itu dominasi, dengan ‘mereka’ yang turut mengikuti — menari.
Sayang, terkadang mimpi serupa bayang pada genang di jalanan — yang hanya diam menatap kembali, mengabaikan nyata yang berteriak bahagia. Aku harap waktu mampu membuat kaki mimpi kita menapak berlari di atas genang sebagai suatu wujud bersama nyata, nanti.              
Sayang, percayalah, bahwa dengan hati, tak ingin ku tempatkan rintik mimpi pada hampar genang jalanan. Karna inginku ia menjadi pun terpantau; tak hilang.
                                               
Semoga nantinya mimpi tak pulang kebasahan. Semoga nantinya jelma utopia adalah hal terjauh yang tak mampu kejar anak mimpi kita.
Dari aku yang mencintaimu,
Adzhani,

Untuk Deddy Ramadhani, dalam @DuetPuisi.




– @DR_dhani

Aku menyebutnya dengan  nyata, yang memberi kecup dan selamat kepada pagi, yang kuberi asa dan rasa. Kepada kamu , untuk kamu, yang jadikan kita ada—untuk hari ini, dan seterusnya.

Semut semut berbondong membawa reremah. Memangku berat kudapan pada punggung yang diantarkan kehadapan dalamnya sarang yang tak mengenal kata gelap. Kita akan menetap, jadikan mimpi bukan lagi dirinya, mendewasakannya, mewujudkan nyata.

Ketahuilah, aku dan kamu menuju suatu yang tak hingga dan tak miliki definisi. Kita serupa bilangan yang kau bagi dengan nol, serupa pi yang tak pernah habis dibagi. Tanpa akhir.

Berlarian, dengan waktu aku berpacu meniti hujan itu. Merajut tiap tiap indah rintiknya, jadikan syal yang kulingkarkan pada lamun dan tinggi temperaturmu—sejuk.

Nyata sudah dekat, sayang.  Bata-bata mimpi yang kita rekat dengan timbun usaha telah tampakkan bentuknya serupa bilik. Ia mampu lindungi kita dari angin malam, pertemukan kita pada lelap indah yang tak berkesudahan, kini.

Telah kulihat caramu merawat mimpi yang jadikannya dewasa  diri. Dengan sedikit asa usaha yang kumiliki, izinkan aku membawanya pada transformasi yang lebih tinggi.

Jauh tinggi anak mimpi berkelana sudah, saatnya kembali pada yang didefinisikannya sebagai rumah—Ia nyata.



Dari aku yang kau nanti, Deddy Ramadhani,

dalam ber-#DuetPuisi dengan Adzhani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar