– @madeehana
Hai
pecinta fiksi dan puisi,
salam kenal dari putri kerajaan pasir.
salam kenal dari putri kerajaan pasir.
Aku tak terlalu pandai
merajut kata
Hanya suka
Jarum dan benang pun kadang nakal, tak berhasil aku sulap jadi puisi hangat
Kalimat-kalimat puitis terkadang keluar begitu saja tanpa ampun
Aku hanya menemani mereka, menemukan rumah dan tuannya.
Hanya suka
Jarum dan benang pun kadang nakal, tak berhasil aku sulap jadi puisi hangat
Kalimat-kalimat puitis terkadang keluar begitu saja tanpa ampun
Aku hanya menemani mereka, menemukan rumah dan tuannya.
Mau ceritakan padaku
bagaimana kisahmu mencintai fiksi dan puisi?
Bagiku,
Mereka adalah Ayah; mendewasakanku dalam gigil, menguatkanku saat tangis
Mereka adalah Ibu; mengajariku cara memusnahkan amarah yang berselimut dendam
Mereka adalah saudara; memberi gelak tawa, tak kenal cuaca
Mereka adalah sahabat; tak membiarkanku sendiri, sesunyi apapun bunyi
Mereka adalah kekasih; mencintai tanpa menuntut, memberi kesempatan puisiku hidup
Mereka adalah Ayah; mendewasakanku dalam gigil, menguatkanku saat tangis
Mereka adalah Ibu; mengajariku cara memusnahkan amarah yang berselimut dendam
Mereka adalah saudara; memberi gelak tawa, tak kenal cuaca
Mereka adalah sahabat; tak membiarkanku sendiri, sesunyi apapun bunyi
Mereka adalah kekasih; mencintai tanpa menuntut, memberi kesempatan puisiku hidup
Ah, benar kan, aku tak
pandai berima.
Sekian dulu ucapan
salamku, semoga berkenan di hatimu.
*untuk #duetpuisi
bersama @aa_muizz
– @aa_muizz
—————– Hai Puteri Pasir
Kamu tak pandai berima? Ah,
tapi apa yang kau katakan selalu penuh makna. Sepertinya otak dan hatimu berjalan
linier. Tak pernah ada perlambatan walau semili. Kau menguasai keduanya seperti
gravitasi mengakar bumi.
Terkadang, realita
menyisakan banyak tanya. Walau Tuhan telah mengutus alam mengisyaratkan jawab
untuk kita, kadang kita malas berpikir karena tanda tanya telah menusuk kepala
kita. Mengakar. Menjerat. Hingga kita lupa bahwa kita ada.
Suatu hari, aku tersesat
dalam rimba aksara. Di tengah belukar, kudapati seorang puteri terbelenggu
sepi. Tatapan matanya hanya menyiratkan nyeri pada tempat tersepi dalam hati.
Saat itu, aku berpikir keras. Hingga jerat tanda tanya di kepalaku lepas. Menerbangkan
ide-ide yang hampir membusuk pada tetes-tetes tinta yang mengaliri labirin
hati.
Sejak saat itu, tatapan
sang puteri mulai bersinar menerangi jagad di dalam kepalaku. Rimba aksara
penuh belukar itu menghilang, memetakan taman bunga dengan lukisan hujan. Kau
tahu? Aku selalu berharap, Tuhan mau meneteskan setetes tintanya saja sebagai
sibgah di hati kami. Agar fiksi dan puisi hidup dalam nyata dan abadi.
Maukah kamu bertualang
bersama kami?
(Puisi ini ditulis untuk
mengikuti lomba #DuetPuisi bersama @madeehana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar