– @fasyaulia
Di mataku, sisa hujan semalam adalah keindahan yang bertepi
pada sebongkah kenangan. Memaksa embun-embun untuk bertemu bersama pagi.
Meninggalkan tuan yang semakin jauh melangkah pergi. Membohongi dunia pada
curam nya kepedihan yang tak terhenti. Pada matahari, sisa hujan, dan pelangi
yang membagi.
Di mataku, tak selamanya jarak adalah waktu yang melambat.
Tuan mengenalkan ku pada sorotan matahari yang terikat. Cahaya nya menentu,
jarak nya membisu, dan datang tepat waktu. Bukankah kita menginginkan itu?
Kita akhirnya bertemu pada satu lisan yang sama. Disaksikan
senja yang membisu tak tertera. Di ujung keheningan yang mendera, ada asa yang
menjadi kekal tak terhenti. Hingga kita tahu, kita menemui langit yang sama.
Kamu menggoda nya hingga merah. Aku menanti hingga tak lagi cerah. Nikmatilah
rasa ini yang tak pernah salah.
Untuk @GustiFullah dalam tulisan #DuetPuisi
– @GustiFullah
Rasa terima kasihku teramat sangat pada tuhan sang
penguasa semesta.
Rasa ini memuncak walaupun aku dan kamu berpijak di bumi yang berbeda namun tetap di langit yang sama.
Jarak tak akan mampu membentengi mesra kata-kataku.
Meskipun jauhnya ragamu dari pandanganku, rasa hangat pelukmu masih terasa hangat di dalam kalbu.
Rasa ini memuncak walaupun aku dan kamu berpijak di bumi yang berbeda namun tetap di langit yang sama.
Jarak tak akan mampu membentengi mesra kata-kataku.
Meskipun jauhnya ragamu dari pandanganku, rasa hangat pelukmu masih terasa hangat di dalam kalbu.
Ada rasa takut jauh
darimu.
Tapi hati ini telah jatuh pada puan yang pemalu.
Keberanian itu ada, karna rasa percaya adalah pondasi dari rasa sayangku.
Tapi hati ini telah jatuh pada puan yang pemalu.
Keberanian itu ada, karna rasa percaya adalah pondasi dari rasa sayangku.
Puan yang ku cinta seluas
langit tuhan.
Ingatkah tentang langit memerah malu-malu yang dulu pernah aku ceritakan?
Betapa ia merona memandangi keintiman kita yang membuatnya cemburu merah padam.
Sungguh kebersamaan itu sanggup meruntuhkan langit, sehingga kita lupa waktu bahwa ia telah berubah warna menjadi biru malam.
Ingatkah tentang langit memerah malu-malu yang dulu pernah aku ceritakan?
Betapa ia merona memandangi keintiman kita yang membuatnya cemburu merah padam.
Sungguh kebersamaan itu sanggup meruntuhkan langit, sehingga kita lupa waktu bahwa ia telah berubah warna menjadi biru malam.
Sore ini aku
menyaksikannya lagi, puan.
Meskipun kita beradu kata di sudut bumi yang berjauhan.
Kemesraan kata-kata kita yang dihanyutkan angin menguap menjadi awan.
Membentuk gumpalan-gumpalan putih kapas, menyentuh langit senja.
Tak ada yang ditakutkan perihal jarak.
Karna kata-kata kita dibawa awan berarak.
Menyampaikan rindu melalui perantara ciptaan tuhan yang maha tahu.
Aku, kamu dan langit yang memerah malu-malu.
Meskipun kita beradu kata di sudut bumi yang berjauhan.
Kemesraan kata-kata kita yang dihanyutkan angin menguap menjadi awan.
Membentuk gumpalan-gumpalan putih kapas, menyentuh langit senja.
Tak ada yang ditakutkan perihal jarak.
Karna kata-kata kita dibawa awan berarak.
Menyampaikan rindu melalui perantara ciptaan tuhan yang maha tahu.
Aku, kamu dan langit yang memerah malu-malu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar