– @JvTino
“Jika
ada seribu tahun lagi,
aku
berharap akan datang matahari untukku.”
.
Aku
membisikkan kalimat ini untukmu.
Berharap,
kamu mendengarnya
di
antara sayup-sayup suasana pagi,
di
antara kebiasaanmu membelai mentari
yang
menyelusup di antara rambutmu,
tergerai
wangi
aroma
denyut pori-pori kulit
yang
lekat di helai rambut terurai.
.
Aku
membisikkannya padamu
dengan
lembut,
berharap
kamu mendengarkannya dengan perlahan,
seperti
matahari yang terbit,
tak
pernah merasa renta di makan usia
dan
tetap saja menata sinar cahayanya
perlahan,
hingga
senja.
Seperti
matahariku yang sungguh kamu,
aku
bagai malam yang terbenam
pada
fajarmu yang kukatakan,
“untuk ribuan tahun lagi.”
.
“…
akan datang matahari gula-gula untukku …”
.
Akan
datang cahaya warna-warni
di
hari-hari yang lugu dan bersuka cita,
seperti
aku anak-anak rindu,
merayu
ibu demi gula-gula manisku yang sungguh kamu.
.
Akan
datang ruh dengan warna-warni manis
dalam
tatapanku pagi ini,
meraih-raih,
menggapai
mentari yang bersembunyi di balik helai rambutmu,
menghirup
aroma pori kulit tengkukmu
dan
berkata atas romansa yang dipercayakan padaku,
“jika ada ribuan tahun lagi,
aku berharap,
hanya kamu,
metafora gelora hidupku yang pernah ada;
kamulah metafora matahari gula-gula
untukku.”
.
—————–
untuk #DuetPuisi @pratiwihputri
Dialog Pagi
– @pratiwihputri
: JvTino
Pagi di pinggiran kota Surabaya,
matahari belum juga terlihat, sayangku.
Di ufuk timur belum juga kulihat cahaya seberkas pun.
Aku membisu di teras rumah,
dengan secangkir kopi hangat bikinan ibu,
ditemani kicau burung gereja
matahari belum juga terlihat, sayangku.
Di ufuk timur belum juga kulihat cahaya seberkas pun.
Aku membisu di teras rumah,
dengan secangkir kopi hangat bikinan ibu,
ditemani kicau burung gereja
yang girang hendak menyambut pagi.
"Pagi itu, Matahariku,
"Pagi itu, Matahariku,
selalu datang membawa harapan-harapan,"
begitu bisikmu kala itu.
Ingatkah kau di suatu pagi,
begitu bisikmu kala itu.
Ingatkah kau di suatu pagi,
ketika aku bilang aku membenci matahari,
ketika aku menyalahkan sebuah kehilangan,
ketika aku lebih memilih bercengkerama dengan senja?
Matahari tak lagi terlihat.
Di mana harapan yang katamu itu ikut tenggelam
ditelan gulita?
Ingatkah kau di suatu pagi yang gigil?
Kau mulai memanggilku dengan sebutan manis -- Matahariku,
semanis gula-gula yang kau harapkan kedatangannya,
semanis aku, katamu.
"Aku benci kau memanggilku Matahari,
ketika aku menyalahkan sebuah kehilangan,
ketika aku lebih memilih bercengkerama dengan senja?
Matahari tak lagi terlihat.
Di mana harapan yang katamu itu ikut tenggelam
ditelan gulita?
Ingatkah kau di suatu pagi yang gigil?
Kau mulai memanggilku dengan sebutan manis -- Matahariku,
semanis gula-gula yang kau harapkan kedatangannya,
semanis aku, katamu.
"Aku benci kau memanggilku Matahari,
panggil aku senja.
Bagaimana bisa aku menemuimu,
Bagaimana bisa aku menemuimu,
jika kamu ingin menjadi senja,
sedangkan aku adalah pagi?"
Dialog pagi itu berputar lagi di kepalaku
"Percayalah, Sayang,
pagi itu selalu datang dengan membawa harapan,"sedangkan aku adalah pagi?"
Dialog pagi itu berputar lagi di kepalaku
"Percayalah, Sayang,
bisik ibu sambil mengangat cangkir kopiyang kosong,
sekosong dadaku,
sebelum aku
mengenal pagi -- mengenal kamu.
Wow.. kereen ini!!
BalasHapusJangan lelah untuk terus berkarya..