Jumat, 19 Juli 2013

#DuetPuisi @JvTino dan @pratiwihputri

– @JvTino


“Jika ada seribu tahun lagi,
aku berharap akan datang matahari untukku.”
.
Aku membisikkan kalimat ini untukmu.
Berharap, kamu mendengarnya
di antara sayup-sayup suasana pagi,
di antara kebiasaanmu membelai mentari
yang menyelusup di antara rambutmu,
tergerai wangi
aroma denyut pori-pori kulit
yang lekat di helai rambut terurai.
.
Aku membisikkannya padamu
dengan lembut,
berharap kamu mendengarkannya dengan perlahan,
seperti matahari yang terbit,
tak pernah merasa renta di makan usia
dan tetap saja menata sinar cahayanya
perlahan, 
hingga senja.
Seperti matahariku yang sungguh kamu,
aku bagai malam yang terbenam
pada fajarmu yang kukatakan,
“untuk ribuan tahun lagi.”
 .
“… akan datang matahari gula-gula untukku …”
.
Akan datang cahaya warna-warni 
di hari-hari yang lugu dan bersuka cita,
seperti aku anak-anak rindu, 
merayu ibu demi gula-gula manisku yang sungguh kamu.
.
Akan datang ruh dengan warna-warni manis
dalam tatapanku pagi ini,
meraih-raih,
menggapai mentari yang bersembunyi di balik helai rambutmu,
menghirup aroma pori kulit tengkukmu
dan berkata atas romansa yang dipercayakan padaku,

“jika ada ribuan tahun lagi,
aku berharap,
hanya kamu,
metafora gelora hidupku yang pernah ada; 
kamulah metafora matahari gula-gula untukku.”
.
—————–





Dialog Pagi
– @pratiwihputri

: JvTino
Pagi di pinggiran kota Surabaya,
matahari belum juga terlihat, sayangku.
Di ufuk timur belum juga kulihat cahaya seberkas pun.
Aku membisu di teras rumah,
dengan secangkir kopi hangat bikinan ibu,
ditemani kicau burung gereja 
yang girang hendak menyambut pagi.
"Pagi itu, Matahariku, 
selalu datang membawa harapan-harapan,"
begitu bisikmu kala itu.

Ingatkah kau di suatu pagi, 
ketika aku bilang aku membenci matahari,
ketika aku menyalahkan sebuah kehilangan,
ketika aku lebih memilih bercengkerama dengan senja?
Matahari tak lagi terlihat.
Di mana harapan yang katamu itu ikut tenggelam
ditelan gulita?

Ingatkah kau di suatu pagi yang gigil?
Kau mulai memanggilku dengan sebutan manis -- Matahariku,
semanis gula-gula yang kau harapkan kedatangannya,
semanis aku, katamu.

"Aku benci kau memanggilku Matahari, 
panggil aku senja.
Bagaimana bisa aku menemuimu, 
jika kamu ingin menjadi senja,
sedangkan aku adalah pagi?"
Dialog pagi itu berputar lagi di kepalaku

"Percayalah, Sayang, 
pagi itu selalu datang dengan membawa harapan,"
bisik ibu sambil mengangat cangkir kopiyang kosong,

sekosong dadaku,
sebelum aku
mengenal pagi -- mengenal kamu.

1 komentar: