– @fallenvioletz
Malam ini hujan turun, gigil dingin mulai
menggerayangi punggungku yang mulai lengang tanpa peluk hangat lenganmu.
Malam ini aku dengar dari kabar burung, kenangan sedang mengisi rindu di dadaku, Ia menuliskan namamu.
Malam ini mulai memburu, selasar-selasar otakku berkeling menampilkan sketsa wajahmu, seperti dejavu.
Malam ini aku dengar dari kabar burung, kenangan sedang mengisi rindu di dadaku, Ia menuliskan namamu.
Malam ini mulai memburu, selasar-selasar otakku berkeling menampilkan sketsa wajahmu, seperti dejavu.
Aku merindukanmu.
Kamu tahu? Aku sedang mendoakanmu, itu hobi
baruku.
Kamu tahu? Aku sedang mengenangmu, mengenang tulisan angan dan inginku di cermin kamarku, yang retak karena ku tinju.
Kamu tahu? Aku sedang mengenangmu, mengenang tulisan angan dan inginku di cermin kamarku, yang retak karena ku tinju.
Setelah kehilanganmu.
Tolong jangan beri tahu Tuhan, kamu sedang
membaca puisi ini.
Kini, aku sedang marahan denganNya, Ia terlalu
sibuk di meja kerjanya. Katanya, terlalu banyak doa yang masuk ke kotak
suratnya. Ia kelimpungan, aku disuruh lebih bersabar.
Kini, aku menyogokNya dengan mengelu-elukan
namaNya, supaya doaku lekas dikabulkan. Aku bergegas melipat jemari, mengangkat
telapak tangan, dan tersenyum tegar.
Judul doanya masih sama; masih nama panjangmu,
Sayang.
Jangan kaget, aku sudah terbiasa, bahkan malam
pun sudah enggan menyinyiri kelopak mataku dengan hasut kantuknya.
Jangan terkesima, aku sudah terbiasa, bertekuk lutut dan mengaminkan ucapan air
mata untuk sebuah kalimat bahagia, untukmu tepatnya.
Suatu hari di kehidupan berikutnya, aku ingin
kita bersama mencabuti uban di kepala kita yang mulai pikun.
Suatu hari di kehidupan berikutnya, aku ingin kita menertawakan lipatan keriput yang terlihat cemberut.
Suatu hari di kehidupan berikutnya, aku ingin menimang cucu kita sambil saling mengingatkan nama-namanya.
Suatu hari di kehidupan berikutnya, aku ingin kita menertawakan lipatan keriput yang terlihat cemberut.
Suatu hari di kehidupan berikutnya, aku ingin menimang cucu kita sambil saling mengingatkan nama-namanya.
Sayang, aku mencintaimu…
Suatu hari nanti di kehidupan berikutnya, ketika
kita sedang menghabiskan usia bersama sembari menikmati senja, aku ingin
berkata, “Bolehkah aku menyayangimu sehari lebih lama dari selamanya?"
– @lovepathie
Tadi malam,
barisan-barisan puisimu menculikku dalam sebuah labirin perasaan. Aku tersesat
disana.
Dengan menuliskannya, seolah-olah hanya kamu yang paling ahli soal merindu. Sebenarnya kita sama-sama paham soal rindu, sampai akhirnya kita tahu bahwa rindu tak cukup kuat untuk melahirkan sebuah temu. Dan bahkan, bukan ‘temu’ jurus terjitu untuk menghapus sebuah rindu. Tapi saat adamu tak terasa sementara, rindu itu akan hilang selamanya. Aku memang tak bisa menjanjikan yang satu itu, tapi rasakanlah, rinduku juga sebesar itu.
Dengan menuliskannya, seolah-olah hanya kamu yang paling ahli soal merindu. Sebenarnya kita sama-sama paham soal rindu, sampai akhirnya kita tahu bahwa rindu tak cukup kuat untuk melahirkan sebuah temu. Dan bahkan, bukan ‘temu’ jurus terjitu untuk menghapus sebuah rindu. Tapi saat adamu tak terasa sementara, rindu itu akan hilang selamanya. Aku memang tak bisa menjanjikan yang satu itu, tapi rasakanlah, rinduku juga sebesar itu.
Terlalu istimewa jika
namaku terbungkus dalam doamu. Perlu menghabiskan berapa ramuan rindu untuk
melipat jemarimu? Kamu selalu bicara tentang ‘suatu hari’ seakan-akan tak punya
kesempatan di masa ini. Kamu selalu bicara soal kehilangan tanpa berusaha
memilikiku seutuhnya. Jika kehilangan itu tiba, berarti kamu pernah membiarkan
celah seseorang untuk mencuriku.
Kamu tidak akan tahu,
Tuhan mungkin sedang menyiapkan kejutan untukmu. Dia benar, kamu memang perlu
bersabar. Mungkin tiadaku adalah jeda penguji kekuatan hati. Mungkin tiadaku
ini pembiak rindu agar bertumbuh lebih hebat. Mungkin tiadaku adalah jalur
panjang untuk menemukan bahagiamu dan mungkin tiadaku ini adalah karpet merah
penyambut sosok barumu.
Kamu tidak akan pernah
tahu. Mungkin tiadaku ini adalah persiapan ‘kita’ yang lebih baik lagi di suatu
hari nanti. Jika nanti benar-benar ada sehari lebih lama dari selamanya, aku
ingin setuju itu mampir ke tempat kita. Kamu, masih melatari kemana mataku
pergi. Tenang, semuanya akan berjalan baik-baik saja meski porosmu bukan lagi
aku. Kamu tidak akan tahu, apa yang sedang Tuhan siapkan di meja kerjaNya
untukmu. Bersiaplah.
( bersama @fallenvioletz)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar