Jumat, 19 Juli 2013

#DuetPuisi @ama_achmad dan @commaditya

@ama_achmad

dadamu adalah kota dengan langit paling biru. langit yang menaungiku dari segala cemas, takut dan sakit.

di sana, di sudut kirinya, kita membangun sebuah rumah. empat tiangnya yang kokoh adalah janji-janji yang diabadikan musim. Di dalamnya matahari terbit tanpa tahu terbenam.

di satu bagian ruang tamu, menghadap ke pintu, sebuah jam dinding kau letakkan bersisian dengan lukisan sebuah taman. jam dinding itu, tepat berhenti di pukul lima lewat lima pagi.

"aku menahan waktu, menahan detaknya agar segala yang bernama kebahagiaan tak berlari menjauhi kita" katamu di satu subuh ketika kita sibuk melekatkan degub.

sampai tiba satu masa, segala hal menjadi tak ada. langit di atas kepalaku terbakar. jarum-jarum jam dinding itu bergerak secepat entah. dan lukisan sebuah taman itu, berubah menjadi pemakaman.

segalanya menjadi tak ada.

jelaskan padaku, Aditya, mengapa matahari yang seharusnya tak pernah benam itu kini mati, dan segala yang bernama kebahagiaan itu hanyalah dongeng pengantar tidur yang basi?

"beginilah rupa duka itu, puan" katamu.



Seperti Ini Aku Mengembalikan Kita
@commaditya

:amalia
Kadang kita diperkenalkan duka, Amalia; agar kita bisa memaknai bahagia.
Maka ikutlah denganku berjalan sejenak, menyusuri kota kecil yang dulu kita bangun di dalam dada sebelah kiri.
Pertama, mari menelusuri kembali reruntuhan yang terlalap api. Retakan-retakan menggunung yang dulu pernah utuh. Sisa-sisa gedung yang tadinya penuh. Lintasi gang-gang kecil yang patah, tempat sepasang cinta melempar-lempar gema.Dengar baik-baik, mereka masih memantulinya. Meski sayup-sayup berjuang mengisi ruang. Terbang di udara sebagai rintih-rintih sekarat dengan sayap-sayapnya yang rapuh.
Kedua, mari lihat bagaimana langit hitam kini. Bagaimana biru tempat kita biasa menggambar pelangi dulu, kini jadi lembar hitam serupa abu yang ditolak api. Kosong? Mari mengisinya kembali. Namun biarkan aku memandang matamu sejenak, aku ingin mencontek dunia kecil di dalamnya. Karena matamu adalah cetak biru tata surya, yang dititipkan ayah jikalau dunia runtuh, namun kita masih berpegangan; saling menyelamatkan.
Terakhir, ikutlah aku kembali ke dalam rumah kecil kita. Lihatlah di balik reruntuhan temboknya masih terpancang tiang-tiang; (lihatlah) janji-janji itu belum tumbang. Jam dinding yang kehilangan jarumnya, serta lukisan taman yang tanpa matahari biarlah jadi bekas luka yang mengingatkan kita, bagaimana kiamat pernah singgah.
“Cinta, itulah bumi bagi kita, Aditya. Tempat segala tumbuh dan hidup. Digenapi takdir, disepakati langit,” katamu, yang masih aku peluk hingga kini di dalam ingatan. Marilah membangun kembali segalanya, hingga kita dapatkan kembali sejuknya berpeluk kata-kata. Hingga waktu jadi beku pada puisi-puisi dan kopi bisu pukul lima pagi.


dps2013
kopikultur dan kamar tidur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar