–
@ama_achmad
dadamu adalah kota dengan langit paling biru. langit yang
menaungiku dari segala cemas, takut dan sakit.
di sana, di sudut kirinya, kita membangun sebuah rumah. empat
tiangnya yang kokoh adalah janji-janji yang diabadikan musim. Di dalamnya
matahari terbit tanpa tahu terbenam.
di satu bagian ruang tamu, menghadap ke pintu, sebuah jam
dinding kau letakkan bersisian dengan lukisan sebuah taman. jam dinding itu,
tepat berhenti di pukul lima lewat lima pagi.
"aku menahan waktu, menahan detaknya agar segala yang
bernama kebahagiaan tak berlari menjauhi kita" katamu di satu subuh ketika
kita sibuk melekatkan degub.
sampai tiba satu masa, segala hal menjadi tak ada. langit di
atas kepalaku terbakar. jarum-jarum jam dinding itu bergerak secepat entah. dan
lukisan sebuah taman itu, berubah menjadi pemakaman.
segalanya menjadi tak ada.
jelaskan padaku, Aditya, mengapa matahari yang seharusnya tak
pernah benam itu kini mati, dan segala yang bernama kebahagiaan itu hanyalah
dongeng pengantar tidur yang basi?
"beginilah rupa duka itu, puan" katamu.
–
@commaditya
:amalia
Kadang kita
diperkenalkan duka, Amalia; agar kita bisa memaknai bahagia.
Maka
ikutlah denganku berjalan sejenak, menyusuri kota kecil yang dulu kita bangun
di dalam dada sebelah kiri.
Pertama, mari
menelusuri kembali reruntuhan yang terlalap api. Retakan-retakan menggunung
yang dulu pernah utuh. Sisa-sisa gedung yang tadinya penuh. Lintasi gang-gang
kecil yang patah, tempat sepasang cinta melempar-lempar gema.Dengar baik-baik, mereka
masih memantulinya. Meski
sayup-sayup berjuang mengisi ruang. Terbang di udara sebagai rintih-rintih
sekarat dengan sayap-sayapnya yang rapuh.
Kedua,
mari lihat bagaimana langit hitam kini. Bagaimana biru tempat kita biasa
menggambar pelangi dulu, kini jadi lembar hitam serupa abu yang ditolak api.
Kosong? Mari mengisinya kembali. Namun biarkan aku memandang matamu
sejenak, aku ingin mencontek dunia kecil di dalamnya. Karena matamu adalah
cetak biru tata surya, yang dititipkan ayah jikalau dunia runtuh, namun kita
masih berpegangan; saling menyelamatkan.
Terakhir,
ikutlah aku kembali ke dalam rumah kecil kita. Lihatlah di balik reruntuhan
temboknya masih terpancang tiang-tiang; (lihatlah) janji-janji itu belum
tumbang. Jam dinding yang kehilangan jarumnya, serta lukisan taman yang tanpa
matahari biarlah jadi bekas luka yang mengingatkan kita, bagaimana kiamat
pernah singgah.
“Cinta, itulah bumi
bagi kita, Aditya. Tempat segala tumbuh dan hidup. Digenapi takdir, disepakati
langit,” katamu, yang masih
aku peluk hingga kini di dalam ingatan. Marilah membangun kembali segalanya,
hingga kita dapatkan kembali sejuknya berpeluk kata-kata. Hingga waktu jadi
beku pada puisi-puisi dan kopi bisu pukul lima pagi.
dps2013
kopikultur dan kamar tidur
kopikultur dan kamar tidur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar