– @AzureAzalea
Petang kembang.
Kaki-kaki kita masih
terpajang lantang di antara dua mata hari. Perih, katamu pernah, tak layak
dipikul sendiri. Di dua pipiku, kau lucuti air-air yang tak habis. Di satu
hatimu, kucuri cari genang-genang sesal yang selalu kering. Rupanya pikirmu
mungkin, perempuan hanya tahu menangis. Rupanya pikirku lagi, sedih dan sendu
tak selalu sepasang pekasih.
Senja tandang.
Segala senang terbang
ke sarang. Pada lengang tatapan-tatapan kita yang
luak, suara ikut
tumbang. Sedepa masa menenggang air dari kelenjar mata.
Kita menanggalkan
lambang-lambang ingatan lantas berlomba
memenangkan detakan.
Mencari pada dada siapa luka rembang paling karam.
“Hanya demi itukah
perpisahan harus kita undang?” tanyaku tanpa bicara
Kau katupkan napas,
meruntuhkan pandangan ke bayanganku yang memanjang,
pula diam.
pula diam.
Malam pasang.
Sepantasnya apa yang
digenang kenangan? Kueja sekata demi sekata rupa-rupa tanya yang memendar.
Lagi. Menanti lidah yang mana yang lebih repih.
Betis-betis kita makin
digulam makin dingin. Aku tahu kau benci gigil.
“Menumpanglah di
rerumpang takdir.” hantar dadamu di kesunyian terakhir, “Bukankah kita telah
banyak merampungkan sandiwara? Biarkan ia berbagi tapang. Sesekali getir lalu
senang.” Bola matamu lalu jatuh. Malam pecah persis di mata kakiku.
Makassar,
2013
– @sajakimut
kenangan selalu punya cara mengetuk
katup
jendela pagi yang tak lebih rapat
dari tutup
dadaku.
*
bila tiba
masanya, kau tak lagi
punya air
mata untuk menangisi kesedihanku.
duduklah
sebentar di sini, padamu kukisahkan
segala
baka segala fana
; dunia
hanya dolanan yang tak sengaja meniduri kantukmu
*
akan tiba
masa, kaki-kakimu lebih panjang
dari jalan
lengang, lenganku tak cukup bagi tubuh kuyupmu
masa itu,
sayang, lesaplah, lenyap segala
juga seru
suara tak lagi meriuh utuh di telinga
*
dan
tibalah masa, riwayat menutup hayat
kau
asinkan jemariku, lucupi pipiku
ingatlah,
dunia tak pernah
pintar
menyembunyikan perkara
yang
terpenjara rahasia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar